PHK Massal dan Naiknya Pengangguran Bayangi Ekonomi Indonesia

Ida Farida
May 27, 2025

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Dr. Hempri Suyatna. Foto: Humas UGM

KOSADATA — Bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang emas bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia kini justru menghadapi ancaman serius. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri kian meluas, diikuti naiknya angka pengangguran

 

Kondisi ini menjadi sorotan dalam diskusi Sekolah Wartawan yang digelar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM).

 

Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM sekaligus peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Dr. Hempri Suyatna, menyebut fenomena PHK sebagai ancaman superproduktif yang kini merambah berbagai sektor. Tidak hanya industri padat karya seperti tekstil dan garmen, industri teknologi hingga media pun ikut terdampak.

 

“Ribuan karyawan sudah terkena PHK. Panasonic, Microsoft, Shopee, Tokopedia, bahkan media-media besar melakukan efisiensi tenaga kerja dan penyesuaian pola bisnis,” ujar Hempri dilansir dari laman resmi UGM, Selasa, 27 Mei 2025.

 

Berdasarkan survei Asosiasi Pedagang Indonesia yang dipaparkan Hempri, ada lima faktor utama pemicu PHK. Mulai dari penurunan daya beli masyarakat, efisiensi anggaran perusahaan, lonjakan biaya produksi, otomatisasi teknologi, hingga ketergantungan berlebihan terhadap pasar ekspor. 

 

Dampaknya tak main-main, potensi turunnya kelas menengah bisa memperlemah daya beli dan meningkatkan risiko kemiskinan.

 

Melihat situasi tersebut, Hempri merekomendasikan sejumlah langkah strategis. Di antaranya revisi Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2024 untuk membatasi masuknya produk asing secara masif, mendorong ekosistem usaha yang kondusif, serta memperluas akses modal, teknologi, pemasaran, dan pelatihan kerja berbasis kebutuhan riil pasar.

 

Hempri juga menilai fleksibilitas dalam rekrutmen tenaga kerja perlu diperluas, termasuk mendukung rencana Menteri Ketenagakerjaan Yassierli untuk menghapus batasan usia dalam syarat lowongan pekerjaan. 

 

“Banyak orang kehilangan pekerjaan. Pemerintah harus membuka lapangan kerja sekaligus memberi akses seluas-luasnya bagi masyarakat dari berbagai kelompok usia untuk tetap bisa bekerja secara layak,” katanya.

 

Kendati demikian, Hempri menekankan bahwa perubahan regulasi ketenagakerjaan tetap harus berpijak pada prinsip hak asasi manusia. Ia mengingatkan agar aturan ketenagakerjaan tidak sampai mengorbankan hak anak.

 

“Jangan sampai demi membuka peluang kerja, hak tumbuh kembang anak terabaikan. Usia anak itu masa membangun karakter, bukan untuk bekerja,” tegasnya.***

Post a Comment

Comments 0