GENEALOGI SASTRA INDONESIA

Joeang Elkamali
May 16, 2023

Oleh: Aldy Istanzia Wiguna
Pegiat Lembaga Studi Sastra dan Literasi Pemuda Persis

Menurut A Teuuw, sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan gabungan dari kata sas dan kata tra. Sas memiliki arti mengarahkan, mengajarkan dan memberi petunjuk.

Sedangkan tra biasanya digunakan untuk menunjukkan alat dan sarana. Sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, dan pengajaran. Selain itu, sebuah kata lain yang diambil dari bahasa Sansekerta juga adalah kata pustaka yang memiliki arti secara luas yakni buku.

Dari teori di atas dapat kita artikan bahwa sastra merupakan kegiatan kreatif dalam seni yang erat kaitannya dengan realitas kehidupan. Karya sastra muncul dengan perpaduan kenyataan dan kreatifitas pengarang. Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang mengambil kehidupan manusia sebagai sumber informasinya.

Ajip Rosidi dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia menjelaskan bahwa kehadiran karya sastra di Indonesia pada awalnya bermula dari abad ke 19. Pada abad tersebut ditemukan beragam jenis karya sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-orang yang berasal dari kepulauan Riau dan Sumatera. Juga bahasa yang dipergunakannya akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi melainkan bahasa Melayu Rendah atau biasa disebut Melayu Pasar.

Dalam masa ini, hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan main banyaknya. Kesuastraan Melayu termasuk kesusastraan yang bukan main banyaknya. Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di kepulauan Nusantara. Ia lahir dan hadir dalam bentuk hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya sastra lain yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Seperti Hikayat si Miskin, HIkayat Malim Dewa, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan dan Sejarah Melayu. Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan kesultanan di kepulauan Riau.

Diantara yang paling termasyhur adalah Raja Ali Haji, Nuruddin Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi terkenal dengan usahanya dalam memperbaharui atau mereformasi sastra Melayu. Yang dikisahkannya bukan lagi fantasi tentang raja-raja dan puteri-puteri cantik, melainkan kehidupan sehari-hari. Ia hidup pada paruh pertama abad ke 19 dan menghasilkan karya-karya yang sekarang telah menjadi klasik seperti Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan (1838), Hikayat Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1849), dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jiddah (1854). Dan setelah kewafatannya, barulah gema pembaharuan kesuastraan Melayu itu bergema.

Selain kesusastraan Melayu, di kepulauan Nusantara ini pun lahir kesusastraan lain seperti kesusastraan Jawa, Sunda, Bali, Aceh, dan lain-lain yang merupakan kesusastraan nan kaya dan usianya sudah tua serta berabad-abad.

Dalam khazanah kesuastraan Jawa misalnya, kita dapat melihat bagaimana pengaruhnya yang nampak pada kesusastraan-kesusastraan lain di kepulauan Asia Tenggara seperti cerita Panji yang memiliki pengaruh cukup luas sampai di Campa, Melayu, dan Filipina (Tagalog). Selain itu Epos Mahabharata dan Ramayana dari India menemukan buah subur dalam sastra Jawa. Versi Jawa dari Bharatayuddha diakui para ahli akan keindahannya. Demikian pula cerita-cerita lain yang berpangkal dari Mahabharata banyak diciptakan orang baik dalam bahasa Jawa Kuna, khususnya bahasa Jawa Tengahan ataupun bahasa Jawa Baru. Seperti karya Mpu Kanwa yang tertulis dalam bahasa Kawi dengan judul Arjuna Wiwaha atau karya Mpu Panuluh yang berjudul Gatotkacasraya, Hariwangsa, dan lain-lain.

Selain itu beberapa karya sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Tengahan banyak pula dijumpai seperti Tantri Kamandaka, Calon Arang, Pararaton, Dewa Ruci dan lain-lain. Selain itu, karya sastra yang ditulis dalam bentuk bahasa Jawa Baru diantara yang terkenal adalah karya sastra yang ditulis Kiai Yasadipura I dan II yang banyak menyadur karya-karya sastra berbahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Jawa Baru dalam bentuk tembang. Begitu pula dengan Raden Ngabehi Ranggawarsito yang sangat terkenal di luar lingkungan Jawa karena tembangnya tentang zaman edan yang berjudul Serat Kalatida, kebanyakan menuliskan kembali cerita-cerita yang sudah dikenal sebelumnya antara lain, ia menyadur cerita wayang dalam Serat Pustaka Raja Purwa.

Kesusastraan Sunda pun merupakan salah satu kesusastraan yang tua dan kaya pula. Tapi berlainan dengan kesusastraan Jawa, terhadap naskah-naskah kuna Sunda perhatian para sarjananya masih kurang. Diantara naskah-naskah Sunda yang sudah diketahui isinya ada yang berasal dari abad ke 15 berjudul Siksa Kanda Karesian.

Naskah-naskah lainnya seperti Carita Parahiangan, Carita Wangsa Guru, Kunjarakarna dan lain-lain. Selain itu ditemui pula keragaman carita pantun yang berasal dari masa kerajaan Pajajaran (abad ke 14 dan 15) yang dituturkan secara lisan dan turun temurun. Baru pada abad ke 19 ada yang mencatatkannya secara tertulis. Diantara cerita-cerita pantun yang termasyhur diantaranya Lutung Kasarung, Mundinglaya di Kusumah, Ciung Wanara, dan lain-lain.

Penggunaan bahasa Sunda kuna pada naskah-naskah Sunda kuna pun pada akhirnya mengalami banyak perubahan seiring berkembangnya penggunaan huruf Arab dan huruf Jawa. Bersamaan dengan penggantian huruf itu, muncullah pengaruh kesusastraan Jawa dalam sastra Sunda dengan berbentuk tembang yang kemudian menyebar secara luas. Pada abad ke 19 banyak sekali cerita-cerita tembang yang disebut wawacan turut dijumpai pula dalam kesusastraan Sunda. Kebanyakan dari wawacan ini penulisnya tidak dikenal seperti Suryakanta, Ranggawulung, Surianingrat, Danumaja, Amir Hamzah, dan lain-lain. Hingga menjelang akhir abad ke 19, muncul Haji Muhammad Musa yang menulis Wawacan Panji Wulung, Wawacan Ali Muchtar, dan lain-lain. Selain itu, muncul pula nama Haji Abdus Salam yang menulis Wawacan Rengganis, Raden Aria Adipati Martanegara yang menulis Wawacan Angling Darma, Batara Rama, Babad Sumedang, dan lain-lain. Wawacan yang paling utama yang diciptakan orang dalam bahasa Sunda ialah Wawacan Purnama Alam yang ditulis R Suriadireja. Selain itu pujangga Sunda yang terpenting lainnya adalah H Hasan Mustapa (1852-1930) yang banyak menulis puisi dalam berbentuk dangding.

Kesusastraan Bali sebagaimana kesusastraan Jawa dan Sunda banyak menulis cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Banyak naskah-naskah kuna yang ditulis dalam bahasa Bali berdasarkan kisah-kisah tersebut. Tetapi kisah yang asli Bali pun tak kurang. Diantaranya yang paling terkenal ialah kisah tentang Jayaprana dan Layonsari, yang diakui para ahli bernilai tinggi.

Umumnya karya-karya sastra kuna itu mengisahkan kehidupan antah berantah, kerajaan-kerajaan atas angin dengan rajaputra-rajaputra yang gagah perwira dan putri-putri yang cantik jelita; kepada para pembacanya memberikan nasihat secara langsung ataupun tidak lamngsung, antara lain yang berkenaan dengan moral, agama, ilmu, dan lain-lain. Dengan kata lain, umumnya sastra kuna itu bersifat kraton sentris.

Kehidupan orang banyak, petani-petani di kampung atau pedagang-pedagang di kota, tak pernah menjadi perhatian para pujangga, karena itu tak masuk hitungan. Demikian juga bentuknya. Umumnya sudah mempunya bentuk yang tradisional. Kebanyakan berbentuk tembang (puisi). Pendeknya bukan bahasa sehari-hari. Bahasa prosa cenderung tidak bernilai sastra.

Seiring berkembangnya surat kabar pada pertengahan abad ke 19, maka mulailah dipergunakan bahasa-bahasa yang lebih praktis untuk menyampaikan peristiwa hidup sehari-hari. Ditambah oleh pengaruh bacaan sastra Eropa melalui Belanda, maka mulailah orang mempergunakan bahasa prosa untuk bercerita. Mungkin, pada awalnya mereka tidak begitu sadar untuk bersastra, tetapi lama kelamaan jenis cerita ini berkembang pesat setelah banyak mendapat peminat.

Dengan berkembangnya surat kabar ini pada akhirnya memunculkan para pengarang roman pertama pada akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20. Para pengarang roman ini justru tidak berasal dari Pulau Sumatera melainkan dari pulau Ambon dan ada orang Indo. Mereka tidak menulis dalam bahasa daerahnya masing-masing dalam bentuk tembang atau serat yang sudah tradisional itu. Hal ini seperti terlihat dalam tulisan seorang pengarang berdarah Manado bernama Pangemanan yang pada awal abad kedua puluh merupakan seorang wartawan yang piawai menulis cerita-cerita roman. Selain itu ada pula seorang Indo bernama G Francia yang menulis kisah Nyai Dasima (1896) yang konon berdasarkan peristiwa yang benar-benar terjadi di Betawi. Haji Mukti yang menulis Hikayat Siti Mariah yang meskipun disebut hikayat, namun tak ada persamaannya dengan hikayat-hikayat yang dikenal dalam karya sastra klasik. Cerita itu dimuat sebagai feuilleton dalam surat kabar Medan Priyayi yang terbit di Bandung. Demikian juga cerita-cerita karangan Raden Mas Tirto Adhisurjo seperti Boesono dan Nyai Permana yang dimuat dalam surat kabar tersebut.

Perkembangan kesusastraan ini terus berlanjut sampai akhirnya berjumpa dengaan hadirnya Balai Pustaka pada tahun 1920-an yang ditandai dengan hadirnya beragam roman dan ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi seperti Azab dan Sengsara yang ditulis oleh Merari Siregar dan Siti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Rusli. Selain itu pada masa ini terbit pula karangan-karangan lain seperti Apa Dayaku Karena Aku Perempuan karangan Nur Sutan Iskandar, Muda Teruna karangan M Kasim dan Dibawah Lindungan Ka’bah karangan Buya Hamka.

Selepas munculnya karangan-karangan Balai Pustaka, pada tahun berikutnya tepatnya di tahun 1930-an, perkembangan kesusastraan Indonesia mengalami laju pesat yang ditandai dengan hadirnya majalah Poejangga Baru. Beberapa penulis di angkatan ini antara lain novel Layar Terkembang dan Dian Yang Tak Kunjung Padam karangan Sutan Takdir Alisjahbana, roman Belenggu karangan Amrijn Pane, serta kumpulan puisi Buah Rindu karangan Amir Hamzah.

Di tengah masa-masa keemasan Pujangga Baru, maka di era pergolakan perjuangan kemerdekaan muncul pula para penulis yang kemudian dikenal dengan angkatan 45. Di angkatan ini, muncul sosok-sosok pembaharu sastra Indonesia seperti Chairil Anwar seperti termaktub dalam beberapa kumpulan puisinya seperti Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Luput, Deru Campur Debu, dan Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi yang ditulis bersama Asrul Sani dan Rivai Apin). Selain itu, di angkatan ini muncul pula nama besar seperti Achdiat K Mihardja lewat novelnya Atheis, Idrus lewat novelnya Surabaya dan AKI serta Iwan Simatupang lewat bukunya Harimau-Harimau, ada juga Pramoedya Ananta Toer melalui Tetralogi Burunya yang terkenal, lalu Mochtar Lubis lewat romannya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung.

Pasca wafatnya Chairil Anwar, kehidupan kesusastraan Indonesia sempat mengalami krisis. Hal ini ditandai dengan mulai jarangnya para sastrawan menulis puisi, cerpen, novel dan sebagainya. Mereka hanya asyik menulis essai sebagaimana yang dilakukan oleh Asrul Sani dan Rivai Apin. Sebab di tahun-tahun ini, para pengarang merasakan kesulitan terutama untuk mengisi masa kemerdekaan yang tidak mudah diangankan seperti ketika masa penjajahan dahulu. Pemimpin-pemimpin mulai melakukan penyelewengan kekuasaan, bibit-bibit korupsi dan manipulasi mulai merasuk dan merusak masyarakat dan negara, serta pertikaian antara golongan-golongan politik kian nyata dan ini membuktikan bahwa bagi mereka yang penting bukanlah kehidupan bangsa dan negara apalagi rakyat. Melainkan golongannya sendiri, partainya sendiri bahkan dirinya sendiri juga.

Meski periode ini mengalami kelesuan dengan ketiadaan sastrawan yang menulis karya sastra. Namun dalam periode ini muncul pula pengarang-pengarang lain yang turut menyemarakkan kehidupan sastra di Indonesia seperti Nugroho Notosusanto lewat bukunya Hujan Kepagian, A.A Navis lewat novelnya Robohnya Surau Kami, Ramadhan KH lewat novelnya Royan Revolusi serta Iwan Simatupang lewat novelnya Merahnya Merah.

Barulah pada angkatan 66 kesusastraan Indonesia mengalami masa-masa kegemilangan. Seperti lahirnya Taufiq Ismail dengan puisi-puisi kritiknya yang khas sebagaimana termaktub dalam buku Tirani dan Benteng, B Sularto lewat dramanya Domba-Domba Revolusi, Bur Rasuanto lewat romannya yang berjudul Sang Ayah, A Bastari Amin lewat kumpulan cerpennya Laki-Laki Berkuda dan Di Tengah Padang serta Gerson Poyk lewat novelnya Hari-Hari Pertama.

Kemunculan dan kebangkitan sastra ini pun ditandai pula dengan kelahiran penulis-penulis lain seperti Umbu Landu Paranggi, Joko Pinurbo, Sapardi Djoko Damono, Helvy Tiana Rossa, Asma Nadia, hingga Habiburrahman El-Shirazy. Perkembangan sejarah kesuastraan ini paling tidak menjadi bukti bahwa kehadiran karya sastra di tengah-tengah masyarakat Indonesia dipandang mampu dan cukup untuk menjadi media edukasi untuk generasi penerus bangsa terlebih dakwah Islam yang adiluhung melalui karya seni khususnya sastra yang dibingkai dengan rangkaian puisi, prosa, naskah drama hingga essai-essai sastra yang akan terus dan terus bertumbuh melewati ragam masa dan ragam generasi. Hingga layaklah kehadiran karya-karya sastra ini dipandang sebagai hadiah dari Allah untuk Indonesia sebagaimana tuturan Taufiq Ismail atas apresiasi kehadiran salah satu komunitas sastra terbesar di republik ini yakni FLP atau Forum Lingkar Pena.***

Related Post

Post a Comment

Comments 0